Visi Ruang Baru
Bagi seorang perupa, entah itu Anda, saya atau pun yang lain, sepertinya memiliki pendapat yang sama—paling tidak mirip—dalam memandang betapa sebuah ruang seni; tempat di mana capaian artistik dapat disosialisasikan, adalah hal penting bagi kelangsungan hidup kesenian dan kesenimanan. Harapan terhadap sebuah ruang bervisi baik, tak lepas dari syarat makro tatanan dunia seni rupa kini yang lebih berdasar pada jalinan proses kerjasama berkelanjutan antara perupa, galeri (art space), kurator, kolektor, dan lain-lain. Untuk itulah kehadiran Galeri Tanah Tho yang dirintis pelukis Dewa Gde Ardhana bersama putranya Dewa Gde Putra sangatlah disambut antusias kalangan perupa. Tanah Tho, yang menunjuk pada pengertian ihwal sebuah tempat berkilau cahaya, dapat dipahami sebagai landasan untuk mengorbitkan visi baru dari sebuah ruang seni baru.
Mengingat ke depannya ruang bernama Galeri Seni (dengan ‘G’ huruf besar, maksudnya menunjuk pada peran yang visioner) akan berhadapan dengan pergulatan dunia seni rupa mutakhir, di mana Galeri dituntut tidak saja berfungsi sebagai ruang pajang dan dagang karya seni semata, melainkan juga ke arah edukasi pasar wacana. Ia harus senantiasa terjaga untuk memiliki denyut dan kewibawaan yang hidup; tempat di mana ruang privat dan sosial seni rupa beradu, berdialog dan membangun tatanan-tatanan diskursus barunya. Hingga memang ekspektasinya menjadi begitu luas dan bertingkat-tingkat.
Dengan posisi Galeri Seni seperti ini pula, ditulis Adam Lindemann dalam bukunya yang populer Collecting Contemporary, tetap menempatkan Galeri Seni (tentu saja yang berkualitas bagus) sebagai pasar primer yang harus dituju oleh pembeli karya seni (kolektor). Mengapa demikian? Menurutnya, pada Galeri Seni akan dijumpai karya-karya seni yang baru, dan yang terpenting harganya tetap bersaing (2006: 13). Pendek kata, pendirian Galeri Seni di hari ini tetaplah menjadi sesuatu yang penting, sekaligus bermasa depan.
Di luar, sebagaimana kita tahu semua, entah itu di Ubud sendiri, ataupun di berbagai
Visi ruang baru adalah jawaban untuk menengarai otomatisasi peran dan fungsi yang dituntut oleh pusaran sosial seni rupa terhadap ruang-ruang ciptaan pribadi. Visi yang dipahami sebagai demarkasi di mana kejelasan tindak dapat diukur, sehingga publik dalam menempatkan ekspektasinya lebih pada standar-standar yang terjaga. Tidak mengawang sebagai ruang impian yang tiada pernah dapat tersentuh. Barangkali banyak pelajaran yang dapat dijumput dari deretan ruang-ruang ciptaan baru, yang diawal berdirinya begitu nampak memesona, tapi akhirnya hilang tanpa kejelasan.
Menjadi sangat penting memang, Galeri Tanah Tho hari ini dan selanjutnya untuk senantiasa berjalan dan bertumbuh dalam irama gerak cipta seni rupa yang terus melesat maju. Karena akan menjadi sangat beresiko begitu sensitivitas menghilang, tidak menutup kemungkinan Galeri Seni ini akan menjadi tertatih menghadapi persaingan. Maka sekiranya tetap terjaga dalam falsafah untuk senantiasa menanami diri bersama seluruh komponen seni rupa dengan berlimpah pengetahuan dan wawasan baru. Saya berkeyakinan Galeri Tanah Tho akan menuju ke arah visi baru itu, terlebih di dalamnya begitu berlimpah sumberdaya dan kegairahan muda untuk maju bersama.
Sinergi Sebelas Perupa
Sebagai awal, Galeri Tanah Tho mulai mengepakkan sayap dengan menghadirkan sebelas perupa, yakni Wayan Sudarna Putra, Ketut Lekung Sugantika, Ni Nyoman Sani, Wayan Wirawan, Made Arya Palguna, Ida Bagus Putu Purwa, Komang Gde Teja Mulya, Gede Suanda, Wayan Paramartha, Kan Kulak, hingga Kriyono. Banyak hal yang dapat diselidik dari kehadiran perupa-perupa kontemporer Bali ini, satu diantaranya terkait dengan antusiasme kerja kreatif sekaligus solidaritas untuk menyuburkan seni rupa
Pernyataan ini beranjak dari kenyataan empiris bahwa dalam beberapa tahun terakhir intensitas even pameran seni rupa begitu ramai.
Tak ada yang bisa menolak memang, bahwa keberlangsungan siklus cipta-mencipta, berikut pusaran diskursus wacana yang dikehendaki, dan juga pasar jual-beli hanya dapat berlangsung dalam kondisi-kondisi kesepahaman yang sebangun antar semua komponen suprastruktur. Sirnah, atau mulai meredupnya kesepahaman bersama tak terpungkiri lagi akan menjadi tanda kematian praktik cipta-mencipta, pula mulai melenyapnya kegairahan pemikiran, dan hambarnya suasana jual-beli. Inilah konsep yang ditengarai oleh sosiolog seni Howard S. Becker sebagai Art World; tatanan suprastruktur penentu hidup-matinya seni (seni rupa). Seni rupa memang tak lagi entitas eksotik yang berdiam di kolong kehidupan eksentrik para penyamun. Melainkan telah menjadi bagian
Berpaling ke soal kerja kreatif sebelas perupa yang tampil ini, perhatian kita terpencar, tidak saja oleh gejala visual karya mereka yang bervariasi, juga oleh tutur konsep yang dilontarkan pun sangat plural. Bingkai paling dasar yang bisa dirajut hanyalah tentang figurasi dan skill kesenirupaan. Figurasi menjadi tema sekaligus ruang studi yang menonjol, terlihat pada karya-karya Purwa, Suanda, Sani, Wirawan, Paramartha dan juga pada pelukis senior Kriyono. Sementara Sudarna Putra, Teja Mulya, Lekung Sugantika, dan Palguna lebih ke eksplorasi tubuh dan objek dalam payung narasi tertentu. Sementara Kan Kulak menjelajahi dunia landscape.
Kegelisahan terhadap tubuh memang tak pernah lekang dieksplorasi perupa kontemporer kita. Tubuh dalam berlapis tafsir wacana, juga barangkali yang menyentuh ke demensi ideologis, terbukti telah memanjakan perhatian kita sejak lama. Persoalan tubuh—dengan tanpa meniadakan jiwa di dalamnya—memang telah menyemarakkan idiom perupaan dan wacana seni rupa kontemporer. Hal ini pula yang hendak dibagi kepada publik seni rupa
0 comments:
Post a Comment